Banyak karyawan yang merasakan tambahan pemasukan ketika mereka mendapatkan bonus dari perusahaan. Bonus ini bisa berupa insentif atas kinerja yang luar biasa, pencapaian target, ataupun sebagai penghargaan tahunan. Namun, ada persepsi umum di kalangan karyawan bahwa pajak penghasilan yang dikenakan pada bonus lebih tinggi dibandingkan pajak pada gaji bulanan. Apakah hal ini benar? Dan jika iya, apa alasan di baliknya? Artikel ini akan memberikan penjelasan mendetail mengenai mekanisme pajak atas bonus serta apakah benar pajak yang dikenakan lebih besar.
1. Bonus Dihitung sebagai Penghasilan Tambahan
Pertama, penting untuk memahami bahwa bonus merupakan penghasilan tambahan di luar gaji pokok karyawan. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, setiap penghasilan yang diterima oleh seorang karyawan, baik itu berupa gaji, bonus, tunjangan, atau bentuk lainnya, termasuk dalam kategori penghasilan kena pajak. Oleh karena itu, bonus yang diterima akan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang sama seperti gaji.
Namun, karena bonus menambah jumlah penghasilan karyawan dalam periode tertentu, pajak penghasilan yang dikenakan atas keseluruhan penghasilan tersebut juga akan meningkat. Dalam hal ini, bonus dianggap sebagai tambahan yang memperbesar total penghasilan karyawan dan dapat mendorong penghasilan karyawan ke dalam lapisan tarif pajak yang lebih tinggi.
2. Tarif Pajak Progresif: Makin Tinggi Penghasilan, Makin Tinggi Pajaknya
Di Indonesia, tarif pajak penghasilan untuk individu bersifat progresif, yang berarti semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi persentase pajak yang harus dibayarkan. Berdasarkan peraturan, berikut adalah tarif pajak penghasilan individu:
- 5% untuk penghasilan hingga Rp 60 juta per tahun
- 15% untuk penghasilan di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta per tahun
- 25% untuk penghasilan di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per tahun
- 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun
Jadi, ketika seorang karyawan menerima bonus yang signifikan, jumlah total penghasilannya dalam setahun bisa melewati batas lapisan tarif yang lebih tinggi. Misalnya, jika gaji bulanan seorang karyawan belum mencapai lapisan 15% atau 25%, bonus bisa meningkatkan total penghasilannya hingga lapisan pajak yang lebih tinggi. Akibatnya, persentase pajak yang harus ia bayarkan atas total penghasilan juga meningkat.
3. Perhitungan Pajak pada Bonus: Metode Gross dan Gross-Up
Selain tarif progresif, perusahaan biasanya menggunakan salah satu dari dua metode dalam perhitungan pajak pada bonus, yaitu metode *gross* atau *gross-up*:
- Metode Gross: Pada metode ini, jumlah bonus yang diterima karyawan belum termasuk potongan pajak. Misalnya, jika perusahaan memberikan bonus sebesar Rp 10 juta, maka jumlah tersebut masih akan dipotong pajak sebelum diterima karyawan. Pajak yang dikenakan dihitung berdasarkan total penghasilan tahunan karyawan, termasuk bonus tersebut.
- Metode Gross-Up: Dalam metode ini, perusahaan menanggung pajak atas bonus yang diberikan kepada karyawan. Jadi, bonus yang diterima karyawan sudah “bersih” setelah dipotong pajak. Namun, perusahaan harus menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan dan memasukkannya dalam laporan sebagai bagian dari penghasilan karyawan.
Pentingnya memahami metode yang digunakan ini adalah untuk mengetahui berapa jumlah bonus bersih yang akan diterima. Pada metode gross, bonus yang diterima bisa terasa lebih kecil karena langsung dipotong pajak, sehingga sering kali muncul persepsi bahwa pajak atas bonus lebih tinggi.
4. Faktor Potongan Pajak Lain: Efek Kumulatif
Ketika seorang karyawan menerima bonus, total penghasilannya selama satu periode (misalnya, bulanan atau tahunan) meningkat. Peningkatan ini bisa menyebabkan potongan pajak bulanan terlihat lebih besar dalam periode tertentu. Hal ini dikenal sebagai efek kumulatif, di mana pajak yang dihitung dalam satu bulan akan terasa lebih besar jika ada penghasilan tambahan.
Contohnya, jika karyawan menerima bonus di bulan Desember, total pajak bulan tersebut akan lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Namun, pajak ini hanya sementara, karena pada akhir tahun, potongan pajak akan disesuaikan kembali berdasarkan total penghasilan tahunan yang tercatat. Dalam kata lain, kenaikan potongan pada bulan tertentu bukan berarti tarif pajak yang dikenakan berbeda, melainkan hasil dari efek kumulatif penghasilan dalam periode tersebut.
5. Apakah Pajak Bonus Benar-Benar Lebih Tinggi?
Secara teknis, pajak atas bonus tidak lebih tinggi. Yang menyebabkan karyawan merasakan peningkatan potongan pajak adalah:
- Total Penghasilan Meningkat: Bonus menambah total penghasilan, yang bisa membuat total pajak yang dibayarkan meningkat secara keseluruhan.
- Efek Kumulatif: Potongan pajak pada bulan penerimaan bonus terlihat lebih besar karena penambahan penghasilan di bulan tersebut.
- Lapisan Tarif Pajak: Jika bonus menyebabkan penghasilan melewati batas lapisan tarif pajak tertentu, maka tarif pajak atas total penghasilan menjadi lebih tinggi.
Namun, jika dihitung secara keseluruhan dalam setahun, pajak atas bonus dihitung dengan tarif yang sama seperti penghasilan lainnya. Perbedaan ini lebih berkaitan dengan persepsi akibat potongan besar yang terjadi pada bulan tertentu, bukan karena tarif pajak yang berbeda.
Kesimpulan
Bonus yang diterima karyawan memang meningkatkan total penghasilan mereka dan bisa mendorong mereka ke lapisan tarif pajak yang lebih tinggi. Namun, tarif pajak atas bonus tetap sama dengan penghasilan lain, sesuai dengan tarif progresif yang berlaku di Indonesia. Bagi karyawan, memahami struktur tarif pajak progresif dan metode pemotongan pajak pada bonus dapat membantu merencanakan keuangan dengan lebih baik, terutama ketika menerima insentif tahunan atau bonus kinerja.
Jika Anda karyawan yang ingin memastikan pemahaman lebih lanjut tentang potongan pajak dan strategi finansial saat menerima bonus, berkonsultasilah dengan konsultan pajak atau bagian HRD perusahaan Anda.
Reference: