Pajak progresif menjadi isu yang semakin mencuat di tengah masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki lebih dari satu kendaraan bermotor. Dalam konteks ini, pemahaman mendalam tentang konsep pajak progresif menjadi kunci untuk mengelola keuangan terkait kendaraan bermotor dengan lebih efisien.
Baca Juga: Pengertian Pajak Penghasilan Umum dan Cara Perhitungannya
Pajak ini tidak hanya terbatas pada tarif pajak yang didasarkan pada harga atau nilai objek, tetapi juga memperhitungkan jumlah kendaraan yang dimiliki oleh satu pemilik. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan pajak progresif, bagaimana pengaruhnya terhadap wajib pajak yang memiliki lebih dari satu kendaraan, dan bagaimana menjalankan praktik yang tepat dalam mengelola pajak progresif untuk kendaraan bermotor. Mari kita bahas lebih lanjut!
Apa Itu Pajak Progresif?
Dalam menjelaskan konsep “Apa Itu Pajak Progresif?”, perlu dipahami bahwa pajak progresif bukan hanya terbatas pada Pajak Penghasilan (PPh), melainkan juga berlaku pada kepemilikan kendaraan bermotor. Pajak progresif pada PPh, sebagai contoh, akan meningkat seiring dengan naiknya penghasilan di atas Rp50 juta dalam satu tahun, dengan tarif yang berlaku pada setiap lapisan PPh. Begitu pula pada kendaraan bermotor, pajak progresif diterapkan pada kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya, terutama jika kendaraan tersebut memiliki kesamaan nama pemilik, alamat tempat tinggal, dan jenis kendaraan.
Perlu diingat bahwa meskipun nama dan alamat tempat tinggal pemilik kendaraan sama, jika kendaraan tersebut adalah kendaraan pertama, tarif pajak progresif tidak akan dikenakan. Namun, jika terdapat lebih dari satu kendaraan dalam satu Kartu Keluarga (KK) atau alamat, terlepas dari perbedaan jenis kendaraan, kendaraan kedua-keempat akan tunduk pada tarif progresif yang berlaku untuk motor dan mobil.
Selain itu, penting untuk menyoroti bahwa proses balik nama setelah menjual kendaraan merupakan langkah krusial. Jika proses ini diabaikan, pemilik kendaraan lama masih akan bertanggung jawab atas pajak progresif, meskipun kendaraan tersebut telah dijual. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai konsep ini penting untuk menghindari kewajiban pajak yang tidak perlu. Semua ketentuan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mengkategorikan kepemilikan kendaraan berdasarkan jenis roda dan jumlahnya, memberikan gambaran jelas mengenai tarif pajak progresif yang berlaku.
Baca Juga: Ini Daftar Jasa Kena Pajak yang ada di Indonesia
Dasar Hukum Pengenaan Pajak Progresif
Dalam konteks dasar hukum pengenaan Pajak Progresif, peraturan yang mengaturnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif pada kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya, dengan tujuan mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan. Ketentuan pajak progresif ini secara spesifik dibedakan berdasarkan jenis roda kendaraan, yakni roda kurang dari empat, roda empat, dan roda lebih dari empat.
Selain kendaraan bermotor, pajak progresif juga mengacu pada Pajak Penghasilan (PPh), yang kini diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021. Dalam hal PPh, tarifnya didasarkan pada penghasilan tertentu, di mana tarif progresif akan berlaku pada lapisan penghasilan tertentu di atas Rp50 juta dalam satu tahun.
Penting untuk dicatat bahwa tarif pajak progresif kendaraan bermotor ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Misalnya, kendaraan pertama akan dikenakan biaya antara 1% hingga 2%, sedangkan kendaraan kedua dan seterusnya akan tunduk pada tarif antara 2% hingga 10%. Meskipun daerah memiliki wewenang untuk menetapkan tarif progresif, batasannya tetap mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang.
Dasar hukum ini diterapkan dengan tujuan tidak hanya mengendalikan pertumbuhan kendaraan, tetapi juga meningkatkan penerimaan daerah dari pajak yang dibayarkan. Dengan pemahaman yang komprehensif mengenai aturan ini, wajib pajak dapat meminimalkan kewajiban pajak yang tidak perlu, menciptakan kesadaran akan pentingnya proses balik nama setelah penjualan kendaraan, dan memberikan kontribusi positif terhadap pengelolaan lalu lintas serta penerimaan daerah.
Cara Menghitung Pajak Progresif
Dalam menghitung tarif Pajak Progresif kendaraan bermotor, ada dua unsur utama yang perlu diperhatikan, yaitu Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dan efek negatif atas pemakaian kendaraan untuk merefleksikan tingkat kerusakan jalan.
NJKB, bukan harga pasaran umum, melainkan nilai yang ditetapkan oleh Dispenda berdasarkan data dari Agen Pemegang Merek (APM). Untuk menghitung NJKB, langkah awal adalah mencari PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) yang tertera di lembar STNK bagian belakang. Rumus NJKB adalah (PKB/2) x 100.
Baca Juga: Ini Dia Pengelompokan Pajak yang ada di Indonesia
Setelah mendapatkan NJKB, langkah berikutnya adalah mengalikannya dengan persentase pajak progresif, sesuai urutan kepemilikan kendaraan. Penting untuk memastikan persentase ini tepat. Selanjutnya, tentukan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) untuk mendapatkan total pajak progresif tiap kendaraan.
Contoh, jika Anda memiliki dua mobil dengan PKB sebesar Rp150.000.000, untuk mobil pertama dengan persentase 2%, pajak progresifnya adalah Rp3.000.000. Sedangkan untuk mobil kedua, dengan persentase 2,5%, pajak progresifnya adalah Rp3.750.000. Pastikan untuk menambahkan SWDKLLJ ke dalam total pajak progresif. Dengan demikian, perhitungan pajak progresif kendaraan bermotor dapat dilakukan dengan akurat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.